Perempuan : Sebuah Cerita yang Lain
“Nak, pulanglah…! lulus tsanawiyah sudah cukup untuk perempuan sepertimu. Saat ini, bapak tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kemiskinan menghabiskan segalanya, seperti kobaran api yang membakar rumput kering di musim kemarau. Bapak sudah tidak punya apa-apa lagi untuk mengirim uang padamu. Bahkan video tua barang peninggalan dari Saudi sudah dijual untuk mengganjal perut. Alangkah egois jika kamu memilih bertahan di Jogja, sementara ading-adingmu di rumah membanting tulang membantu orang tua.” Kalimat ini diucapkan oleh seorang Ayah kepada anaknya yang pertama bernama Fatimah Izzahra, perempuan Kalimantan yang merantau ke Jogja, 2 bulan sebelum ia lulus tsanawiyah. Bagi orang-orang yang tercekik kemiskinan seperti Fatimah, kata-kata ayahnya adalah sebuah kalimat yang berat. Berat karena merupakan pilihan : orang tua atau pendidikannya.
Dan berikut ini adalah sebuah kisah yang lain. Josephin, seorang pegawai swasta di Jakarta. Anak pertama dengan adik empat (dan ia harus menanggungnya sebab orang tuanya telah tiada).10 tahun belakangan ini ia mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Dan Josephin tetap berusaha mempertahankan hubungannya Meski untuk itu ia nyaris tertancap sebilah pisau di perutnya kalau saja tetangganya tak mencegah suaminya membunuh Josephin.
Lalu, kisah yang lebih mengharukan : Bu Imah di, seorang ibu miskin dengan 3 anak dan 3 keponakan yang harus ia nafkahi, dicerai suaminya karena suaminya selingkuh dengan Rita (bukan nama sebenarnya). Apa yang membuat Bu Imah menjadi lain? 3 tahun kemudian, Rita, wanita yang telah memorak-morandakan rumah tangganya dulu, dengan wajah lebam dan menangis, hari itu dating ke rumah Bu Imah. “Aku telah ditinggalkan oleh suamiku (yang juga mantan suami Bu Imah),” katanya dengan diiringi isak tangis,”sebab ia selingkuh dengan perempuan lain. Aku sudah tak punya apa-apa lagi, iznkan aku tinggal di sini, di rumah ini, untuk bekerja membantu di warung makanmu …..” Apa yang dilakukan Bu Imah? Ia langsung menerima Rita untuk tinggal di rumahnya hari itu juga !
Apa yang dipaparkan di atas, semuanya adalah
kisah nyata untuk menggambarkan betapa sebenarnya harus diakui bahwa
perempuan memang punya
“kekuatan” lain. Tapi sayangnya, perempuan seringkali harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka disubordinasikan oleh banyak pihak yang pada akhirnya menempatkan mereka pada warga kelas dua sehingga mereka tidak punya akses terhadap pengambilan keputusan dan kebijakan. Hal ini sering terjadi baik dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat dan negara. Kenyataan ini bisa dibuktikan dengan kisah di atas ketika Fatimah menentukan sebuah keputusan untuk memilih pendidikannya atau orang tuanya. Juga Bu Imah dan Josephin. Seolah ada hukum tak tertulis yang mengatakan bahwa seorang isteri “harus” mengikuti keputusan dan peraturan yang diambil oleh suaminya dalam menentukan sebuah kebijakan rumah tangga mereka. Meski keputusan yang diambil harus ditelan pahit-pahit oleh pihak isteri.
Menurut Rahmiati Azhar, seorang aktivis dari
Women Research Institute, setidaknya ada 3 hal yang menyebabklan perempuan selalu dipinggirkan. Pertama, otoriterisme politik negara. Kontrol negara atas warga negara, terutama kaum perempuan yang berlebihan berakibat hadirnya berbagai kebijakan negara yang bias hak asasi manusia, bias gender, dan mereduksi hakikat demokrasi.
Kedua, kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Manajemen anggaran negara (APBN/APBD), prioritas pembangunan, dan manajemen pengelolaan sumber daya alam di negara ini masih sepenuhnya disandarkan pada pemenuhan kebutuhan para politisi, elite ekonomi, dan investor. Kebijakan yang tidak pro-rakyat miskin ini telah mereduksi akses masyarakat, khususnya perempuan di sektor pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sumber kehidupan publik yang mendasar. Organisasi perempuan seperti PKK, Dharma Wanita, Bhayangkari, dan seterusnya lebih merupakan organisasi perempuan untuk mendukung ideologi negara semata. Dengan bahasa lain, Orde Baru (dan masih kita lanjutkan sampai sekarang di era reformasi) telah menjadikan organisasi-organisasi perempuan itu sebagai perpanjangan tangan kekuasaan yang menempatkan perempuan sebagai pekerja sektor domestik, pekerja rumah tangga yang tidak jauh dari area dapur,sumur dan kasur.
Ketiga,
fundamentalisme agama. Berbagai gerakan agama yang diduga berupaya melakukan perlawanan terhadap hegemoni Barat dan dominasi kekuatan kapitalisme yang berpijak pada sikap dan aksi yang radikal sehingga dalam beberapa hal gerakan ini meminggirkan perempuan yang seharusnya diajak bekerja sama.
Dalam struktur masyarakat Indonesia yang “cenderung” patriarkal, bukan hal mudah bagi perempuan untuk mengekspresikan dan mengembangkan diri secara bebas. Perempuan sepertinya selalu identik dengan kekerasan, kemiskinan, dan pelecehan seksual. Meski begitu bagi perempuan, itu bukanlah alasan untuk menjustifikasi bahwa tak ada ruang gerak kreatif “untuk” mematahkan stereotip-stereotip dan stigma-stigma yang berlaku di masyarakat bagi kaum hawa tersebut. Contoh saja, Kasmiati (49) dari Nusa Tenggara Barat. Berawal tahun 1984, Kasmiati, perempuan miskin yang hanya lulusan SMP ini, mengajak 20 perempuan tetangga dekatnya mengumpulkan sedikit demi sedikit uang, untuk menyediakan modal usaha bagi mereka secara bergiliran. Di akhir 1990-an, seiring manfaat yang mereka rasakan dan terbebasnya mereka dari jerat renternir, jumlah anggota dari perkumpulan itu berkembang hingga mencapai ratusan perempuan. Dan kini, setelah dua dasawarsa berlalu, perkumpulannya yang pada 1987 resmi menjadi koperasi dengan nama
Koperasi Annisa ini, anggotanya telah mencapai ribuan orang. Koperasinya kini tidak hanya di NTB, namun telah menjangkau perempuan di berbagai tempat hampir di seluruh Indonesia.
Kisah
keberhasilan Kasmiati
melawan kemiskinan di atas menegaskan bahwa peran perempuan tak bisa dianggap remeh dan seyogyanya diperhitungkan dalam percaturan kehidupan sosial sebagai suatu subjek yang diberi kesempatan untuk menyelesaikan sendiri permasalahannya. Bukan sebagai objek yang diasumsikan sebagai pihak yang diberi bantuan atau sebagai pihak yang “bermasalah”. Hal ini didasari pula pada asumsi bahwa yang paling mengerti persoalan perempuan adalah perempuan itu sendiri dan kedua, sudah saatnya penduduk terbesar (perempuan) mendapatkan wakilnya yang bisa berbicara atas nama perempuan dan untuk kepentingan perempuan dengan porsi yang adil pula.
Kita hidup dalam situasi dimana fakta mengatakan bahwa perempuan merupakan
populasi terbanyak di muka bumi ini sehingga perempuanlah yang paling banyak menjadi “korban” kemiskinan dan ketidakadilan. Globalisasi neoliberal telah melahirkan kekuatan ekonomi dunia yang berpusat di negara maju yang diikuti restrukturisasi ekonomi di negara miskin dan sedang berkembang. Situasi ini telah menciptakan kemiskinan yang makin akut dan kompleks. Ekonomi global telah menyeret perempuan sebagai objek dan komoditas ekonomi (menjadi PRT, PSK, buruh migran, atau pekerja upahan pabrik dan sektor informal bergaji murah). Perempuan sudah saatnya diajak bekerja sama untuk menyelesaikan persoalannya. Tanpa melibatkannya secara aktif dan proporsional, maka persoalan kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan ketidakadilan tidak akan selesai.
Sebagai penutup, simaklah kelanjutan kisah Fatimah Izzhra.
Ia akhirnya memilih pendidikannya. Meski ini berarti ia harus memulai hidup baru yang getir : bertarung melawan kemiskinan dan tekanan batin atas situasi keluarganya. Sampai pada suatu saat :“Aku kehabisan energi,” katanya ketika ia sedang menjalani program S1-nya dengan biaya kuliah dari berjualan kue di Jogja, “Aku bahkan terdesak ‘mengemis’ belas kasihan temanku karena waktu itu aku kelaparan dan sudah dua hari tidak makan”
Dan 7 tahun kemudian, setelah ia melewati hari-hari yang sangat pahit di Jogja, ia mebuktikannya keyakinannya itu : mendapat Beasiswa S2 ke Inggris dari
Ford Foundation. Hmmm, seandainya saja Fatimah mengikuti kata-kata ayahnya……,
Ah ! Perempuan memang sebuah cerita yang lain. Perempuan memang sebuah kekuatan yang lain.